The Contracts in Islamic Business

The phenomenon that is growing these days showing well growth of Islamic banking and financial system in Indonesia in particular and in the world in general. This is because the Islamic financial system is one of among that is able to survive the global financial and economic crisis that is happening right now. On the one hand, this is something that is very encouraging and deserves appreciation. But on the other hand, we need to increase the understanding of people about complete information about the financial products based on Islamic contracts, so that people will be more aware of the benefits and advantages compared with conventional systems. With the emerging consciousness of this understanding, we expect it could turn them to be customers who are loyal to Islamic products.

Sistem keuangan dan perbankan modern telah berusaha memenuhi kebutuhan manusia untuk mendanai kegiatannya, bukan dengan dananya sendiri, melainkan dengan dana orang lain, baik dengan menggunakan prinsip penyertaan dalam rangka pemenuhan permodalan (equity financing) maupun dengan prinsip pinjaman dalam rangka pemenuhan kebutuhan pembiayaan (debt financing).

Islam mempunyai hukum sendiri untuk memenuhi kebutuhan tersebut, yaitu melalui akad-akad bagi hasil (profit and loss sharing), sebagai metode pemenuhan kebutuhan permodalan (equity financing), dan akad-akad jual-beli (al bai’) untuk memenuhi kebutuhan pembi­ayaan (debt financing). Bank Islam tidak menggunakan metode pinjam-meminjam uang dalam rangka kegiatan komersial, karena setiap pinjam-meminjam uang yang dilakukan dengan persyaratan atau janji pemberian imbalan adalah termasuk riba. Oleh karena itu mekanisme operasional perbankan Syariah dijalankan dengan menggunakan piranti-piranti keuangan yang mendasarkan pada prinsip-prinsip berikut:

 
1. Prinsip Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing)

Ada dua macam kontrak dalam kategori ini yaitu: musyarakah (joint venture profit sharing) dan mudharabah (trustee profit sharing).

a. Musyarakah (Joint Venture Profit Sharing)

Musyarakah adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih (termasuk bank dan lembaga keuangan bersama nasabahnya) yang mengumpulkan modal mereka dan bersama membentuk sebuah perusahaan sebagai sebuah badan hukum (legal entity). Setiap pihak memiliki bagian secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal mereka dan mempunyai hak mengawasi (voting right) perusahaan sesuai dengan proporsinya. Untuk pembagian keuntungan, setiap pihak menerima bagian keuntungan secara proporsional dengan kontribusi modal masing-masing atau sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan sebelumnya. Bila perusahaan merugi, maka kerugian itu juga dibebankan secara proporsional kepada masing-masing pemberi modal. Aplikasinya dalam perbankan terlihat pada akad yang diterapkan pada usaha atau proyek di mana bank membiayai sebagian saja dari jumlah kebutuhan investasi atau modal kerjanya. Selebihnya dibiayai sendiri oleh nasabah.

b. Mudharabah (Trustee Profit Sharing)

Pada mudharabah, hubungan kontrak bukan antar pemberi modal, melainkan antara penyedia dana (shahibul maal) dengan entrepreneur (mudharib). Pada kontrak mudharabah, seorang mudharib (dapat berupa perorangan, rumah tangga perusahaan atau suatu unit ekonomi, ter­masuk bank) memperoleh modal dari unit ekonomi lainnya untuk tujuan melakukan perdagangan. Mudharib dalam kontrak ini menjadi trustee atas modal tersebut. Jika proyek selesai, mudharib akan mengembalikan modal tersebut kepada penyedia modal berikut porsi keuntungan yang telah disetujui sebelumnya. Bila terjadi kerugian maka seluruh kerugian dipikul oleh shahibul maal. Sedang mudharib kehilangan keuntungan (imbalan bagi-hasil) atas kerja yang telah dilakukannya. Mudharabah terbagi lagi menjadi 2 tipe, yaitu Mutlaqah (tidak terikat) dan Muqayyadah (terikat).

2. Prinsip Jual-Beli

Pengertian jual-beli meliputi berbagai akad pertukaran (exchange contract) antara suatu barang dan jasa dalam jumlah tertentu atas barang dan jasa lainnya. Penyerahan jumlah atau harga barang dan jasa tersebut dapat dilakukan dengan segera (cash and carry) ataupun secara tangguh (deferred). Oleh karenanya, untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan (debt financing) syarat-syarat al bai’ menyangkut berbagai tipe kontrak jual-beli tangguh (deferred contract of exchange).

Dalam hukum ekonomi Islam, yang lazim digunakan sebagai model pembiayaan syariah adalah pembiayaan berdasarkan prinsip bai’ al murabahah, bai’ as- salam dan bai’ al istishna’.

a. Al-Murabahah

Al Murabahah adalah kontrak jual-beli atas barang tertentu. Pada transaksi jual-beli tersebut penjual harus menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan dan tidak termasuk barang haram. Demikian juga, harga pembelian dan keuntungan yang diambil dan cara pembayarannya harus disebutkan dengan jelas.

Dalam teknis perbankan, murabahah adalah akad jual-beli antara bank selaku penyedia barang (penjual) dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Bank memperoleh keuntungan dari jual-beli yang disepakati bersama. Rukun dan syarat murabahah adalah sama dengan rukun dan syarat dalam fiqih, sedangkan syarat-syarat lain seperti barang, harga dan cara pembayaran adalah sesuai dengan kebijakan bank yang bersangkutan. Harga jual bank adalah harga beli dari pemasok ditambah keuntungan yang disepakati bersama. Jadi nasabah mengetahui keuntungan yang diambil oleh bank.

b. Bai’ as Salam

Secara etimologi salam berarti salaf (dahulu). Bai’ as salam ada­lah akad jual-beli suatu barang di mana harganya dibayar dengan segera, sedangkan barangnya akan diserahkan kemudian dalam jang­ka waktu yang disepakati.

Dalam teknis perbankan syariah, salam berarti pembelian yang dilakukan oleh bank dari nasabah dengan pembayaran di muka dengan jangka waktu penyerahan yang disepakati bersama. Harga yang dibayarkan dalam salam tidak boleh dalam bentuk utang melainkan dalam bentuk tunai yang dibayarkan segera. Tentu saja bank tidak bermaksud hanya melakukan salam untuk memperoleh barang. Barang itu harus dijual lagi untuk memperoleh keuntungan. Oleh karena itu dalam prakteknya transaksi pembelian salam oleh bank selalu diikuti atau dibarengi dengan transaksi penjualan kepada pihak atau nasabah lainnya. Apabila penjualan barang itu juga dilakukan dalam bentuk salam, maka transaksi itu menjadi paralel salam. Bank dapat juga melakukan penjualan barang itu dengan menggunakan skema murabahah.

c. Bai’ al-Istishna’

Bai’ al-Istishna’ adalah akad jual-beli antara pemesan/pembeli (mustashni’) dengan produsen/penjual (shani’) di mana barang yang akan diperjualbelikan harus dibuat lebih dulu dengan kriteria yang jelas. Istishna’ hampir sama dengan bai’ as salam, bedanya hanya terletak pada cara pembayarannya; pada salam, pembayarannya harus dimuka dan segera, sedang pada istishna’ pembayarannya boleh di awal, di tengah atau di akhir, baik sekaligus ataupun secara bertahap. Dalam prakteknya bank bertindak sebagai penjual (shani’ ke-1) kepada pemesan/pembeli dan mensubkannya kepada produsen (shani’ ke-2).

3. Prinsip Sewa dan Sewa-Beli

Sewa (ijarah) dan sewa-beli (ijarah wa iqtina’ atau disebut juga ijarah muntahiyah bi tamlik) oleh para ulama dianggap sebagai model pembiayaan yang dibenarkan oleh syariah Islam. Model ini secara konvensional dikenal sebagai operating lease dan financing lease. Al ijarah atau sewa adalah kontrak yang melibatkan suatu barang (sebagai harga) dengan jasa atau manfaat atas barang lainnya. Penyewa dapat juga diberi opsi untuk memiliki barang yang disewakan tersebut pada saat sewa selesai, dan kontrak ini disebut al ijarah wa iqtina’ atau al ijarah muntahiyah bi tamlik, di mana akad sewa yang terjadi antara bank (seba­gai pemilik barang) dengan nasabah (sebagai penyewa) dengan cicilan sewanya sudah termasuk cicilan pokok harga barang.

4. Prinsip Qard

Qard adalah meminjamkan harta kepada orang lain tanpa mengharap imbalan. Dalam literatur fiqih qard dikategorikan sebagai aqd tathawwu’, yaitu akad saling membantu dan bukan transaksi komersial. Dalam rangka mewujudkan tanggung jawab sosialnya, bank Islam dapat memberikan fasilitas yang disebut al qard al hasan, yaitu penye­diaan pinjaman dana kepada pihak-pihak yang patut mendapatkannya.

Secara syariah peminjam hanya berkewajiban membayar kembali pokok pinjamannya, walaupun syariah membolehkan peminjam untuk memberikan imbalan sesuai dengan keikhlasannya, tetapi bank sama sekali dilarang untuk meminta imbalan apapun. Bank juga dapat menggunakan akad ini sebagai produk pelengkap untuk memfasilitasi nasabah yang membutuhkan dana talangan segera untuk jangka waktu yang sangat pendek.

5. Prinsip Al Wadi’ah

Wadi’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang diletakkan pada yang bukan pemiliknya untuk dijaga. Barang yang dititipkan disebut ida’, yang menitipkan disebut mudi’ dan yang menerima titipan disebut wadi’. Dengan demikian maka pengertian istilah wadi’ah adalah akad antara pemilik barang (mudi’) dengan penerima titipan (wadi’) untuk menjaga harta/modal (ida’) dari kerusakan atau kerugian dan untuk keamanan harta.

Ada dua tipe wadi’ah, yaitu wadi’ah yad amanah dan wadi’ah yad dhamanah.

a). Wadi’ah Yad Amanah

Wadi’ah yad amanah adalah akad titipan di mana penerima titipan (custodian) adalah penerima kepercayaan (trustee), artinya ia tidak diharuskan mengganti segala risiko kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan, kecuali bila hal itu terjadi karena akibat kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan atau bila status titipan telah berubah menjadi wadi’ah yad dhamanah.

Di bawah prinsip yad amanah ini aset titipan dari setiap pemilik harus dipisahkan, dan aset tersebut tidak boleh dipergunakan dan custodian tidak berhak untuk memanfaatkan aset titipan tersebut. Penerapannya dalam perbankan dapat dilihat, misalnya dalam pelayanan jasa penitipan surat-surat berharga (custodian).

b). Wadi’ah Yad Dhamanah

Wadi’ah Yad Dhamanah adalah akad titipan di mana penerima titip­an (custodian) adalah trustee yang sekaligus penjamin (guarantor) ke­amanan aset yang dititipkan. Penerima simpanan bertanggung jawab penuh atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan tersebut. Dengan prinsip ini, custodian menerima simpanan harta dari pemi­liknya yang memerlukan jasa penitipan, dan penyimpan mempunyai kebebasan mutlak untuk menariknya kembali sewaktu-waktu.

6. Prinsip Lainnya

a). Prinsip Rahn

Rahn menurut Syariah adalah menahan sesuatu dengan cara yang dibenarkan yang memungkinkan untuk ditarik kembali. Yaitu menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan Syariah sebagai jaminan utang, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang semuanya atau sebagian. Dengan kata lain Rahn adalah akad menggadaikan barang dari satu pihak kepada pihak lain, dengan utang sebagai gantinya.

b). Prinsip Wakalah

Wakalah adalah akad perwakilan antara dua pihak, di mana pihak pertama mewakilkan suatu urusan kepada pihak kedua untuk bertindak atas nama pihak pertama. Ada beberapa jenis wakalah, antara lain:

  • Wakalah al mutlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak, tanpa batasan waktu dan untuk segala urusan.
  • Wakalah al muqayyadah, yaitu penunjukan wakil untuk bertindak atas namanya dalam urusan-urusan tertentu.
  • Wakalah al ammah, perwakilan yang lebih luas dari al muqayyadah tetapi lebih sederhana daripada al mutlaqah.

Dalam aplikasinya pada perbankan Syariah, Wakalah biasanya diterapkan untuk penerbitan Letter of Credit (L/C) atau penerusan permintaan akan barang dalam negeri dari bank di luar negeri (L/C ekspor). Wakalah juga diterapkan untuk mentransfer dana nasabah kepada pihak lain.

c). Prinsip Kafalah

Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, kafalah adalah menjadikan seseorang (penjamin) ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab seseorang dalam pelunasan/pembayaran utang, dan dengan demikian keduanya dipandang berutang. Ulama sepakat tentang bolehnya kafalah, karena sangat dibutuhkan dalam muamalah masyarakat, dan agar yang berpiutang tidak dirugikan dengan ketidakmampuan orang yang berutang. Dalam lembaga keuangan, akad ini terlihat dalam penerbitan garansi bank (bank guarantee).

Ada tiga jenis kafalah, yaitu:

  1. Kafalah bin nafs, yaitu jaminan dari diri si penjamin (personal guaran­tee);
  2. Kafalah bil maal, yaitu jaminan pembayaran utang atau pelunasan utang. Aplikasinya dalam perbankan dapat berbentuk jaminan uang muka (advance payment bond) atau jaminan pembayaran (pay­ment bond).
  3. Kafalah muallaqah, yaitu jaminan mutlak yang dibatasi oleh kurun tertentu dan untuk tujuan tertentu. Dalam perbankan modern hal ini diterapkan untuk jaminan pelaksanaan suatu proyek (perform­ance bonds) atau jaminan penawaran (bid bonds).

d). Prinsip Hawalah

Hawalah adalah akad pemindahan utang/piutang suatu pihak kepada pihak lain. Dalam hal ini ada tiga pihak, yaitu pihak yang berutang (muhil atau madin), pihak yang memberi utang (muhal atau da’in) dan pihak yang menerima pemindahan (muhal ‘alaih).

Menurut mazhab Hanafi ada dua jenis hawalah, yaitu:

  1. Hawalah mutlaqah: Seseorang memindahkan utangnya kepada orang lain dan tidak mengaitkan dengan utang yang ada pada orang itu. Menurut ketiga mazhab lain selain Hanafi, kalau muhal ‘alaih tidak punya utang kepada muhil, maka hal ini sama dengan kafalah, dan ini harus dengan keridaan tiga pihak (da’in, madin dan muhal ‘alaih).
  2. Hawalah Muqayyadah: Seseorang memindahkan utang dan mengait­kan dengan piutang yang ada padanya. Inilah hawalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.

Di pasar keuangan konvensional praktek hawalah dapat dilihat pada transaksi anjak piutang (factoring). Namun sebagaimana diuraikan di atas, kebanyakan ulama tidak memperbolehkan mengambil manfaat (imbalan) atas pemindahan utang/piutang tersebut.

e). Prinsip Ju’alah

Ju’alah adalah suatu kontrak di mana pihak pertama menjanjikan imbalan tertentu kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/ pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama. Prinsip ini dapat diterapkan oleh bank dalam menawarkan berbagai pelayanan dengan mengambil fee dari nasabah, seperti Referensi Bank, Informasi Usaha dan sebagainya. Prinsip ini juga digunakan oleh Bank Indonesia dalam Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS).

f). Prinsip Sharf

Sharf adalah transaksi pertukaran antara emas dengan perak atau pertukaran valuta asing, di mana mata uang asing dipertukarkan dengan mata uang domestik atau dengan mata uang asing lainnya. Bank Islam sebagai lembaga keuangan dapat menerapkan prinsip ini, dengan catatan harus memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam beberapa hadits, antara lain: (1) harus tunai; (2) serah terima harus dilaksanakan dalam majelis kontak; dan (3) bila dipertukarkan mata uang yang sama harus dalam jumlah/kuantitas yang sama.

Referensi:

  1. Ma’shum, Muhammad. 2009. “Resume Macam-Macam Akad Keuangan Perbankan Syariah” http://maxzhum.blogspot.com/2009/05/resume-macam-macam-akad-keuangan.html diakses Selasa, 23 Oktober 2012.
  2. Kintabuana, Kardita. 2009. “Akad-akad Pembiayaan dalam Sistem Perbankan Syariah” http://www.rumahzakat.org/?c=content&ins=17&pid=2787 diakses Jumat, 19 Oktober 2012.

Leave a comment